Karya
: Gita Rossiana
Selimutku sedikit terbuka pagi itu,
perlahan udara dingin nan menusuk menyentuh pori-pori kulit kakiku. Jelas, aku
memilih tidur lagi pagi itu. Jam dinding pun samar-samar ku lihat masih pukul
03.00.
Namun dari luar sana, sesekali ku
dengar bunyi pintu berdecit, bunyinya tak segan, seperti menganggap itu rumah
sendiri. Bukan maling pasti. Aku dengarkan seksama kelanjutan bunyi yang akan
terdengar.
“Plak, plak, plak,” seperti bunyi
orang ditampar, tetapi bukan pipi yang jadi landasannya. Ada bunyi plastik yang
bergesekan dengan lantai.
Bunyinya tambah kencang, sepertinya agak lama untuk menaklukkan benda yang agak lembek ini agar bisa padat dan berisi.
Bunyinya tambah kencang, sepertinya agak lama untuk menaklukkan benda yang agak lembek ini agar bisa padat dan berisi.
Tak berapa lama, bunyi pertarungan
antara tiga benda, yaitu plastik, benda lembek yang tak ku tahu pasti dari
bunyinya dan lantai selesai. Berganti dengan bunyi kompor yang dihidupkan.
Pastinya setelah itu akan ada bunyi minyak dan penggorengan.
Aku penasaran dengan apa yang
dilakukan orang ini. Di kamarku penghuninya lengkap, ada adikku yang masih tak
sadar dengan dunia sekitar terus larut dalam tidurnya. Aku mengintip ke kamar
sebelah, tampak selimut yang masih terhampar, bantal dan gulingnya masih belum
menyatu rapi, penghuninya pun tak ada.
Dengan menguap hebat aku berjalan
perlahan ke arah dapur. Awalnya ingin menuju ke kamar mandi, mengeluarkan air
seni yang sudah ditahan tujuh jam sejak jam delapan malam. Tapi di dalam
perjalanan menuju kamar mandi itu, tampak ibuku dengan rambut awut-awutan sudah
berjibaku dengan bermacam adonan.
“Ngapain ma?” Tanyaku pada sosok
yang agak renta itu.
Dia tidak menjawabku dan terus bergerak, berpindah dari ruang tengah ke dapur, bolak-balik tanpa sadar aku ada di hadapannya.
Dia tidak menjawabku dan terus bergerak, berpindah dari ruang tengah ke dapur, bolak-balik tanpa sadar aku ada di hadapannya.
Tak ku teruskan pertanyaanku dan
memilih ke kamar mandi karena air seni lebih butuh prioritas untuk dikeluarkan.
“Nanti akan ku bantu,” batinku.
Waktu menunjukkan pukul 04.30,
muadzin dari masjid seberang sudah bersiap di depan mikrofon mengumandankan
adzan subuh. Aku memilih untuk sekalian solat subuh setelah dari kamar mandi.
Ibuku masih belum tergerak dengan
suara adzan subuh itu.
“Solat dulu Ma. Biar aku terusin,”
kataku kepada wanita yang masih sedikit panik pagi itu.
“Eh kamu, udah bangun? Ya sudah
teruskan goreng donat itu,” pintanya.
Alasanku mengajaknya berbicara
sebenarnya bukan hanya untuk membantunya. Maklum sejak kuliah, aku sudah tidak
tinggal di rumah ini. Aku melanglang buana ke berbagai daerah untuk kuliah, bekerja
dan sekedar memuaskan ambisikku.
Aku teruskan menggoreng donat itu.
Sambil menunggu ibuku menghampiriku lagi.
“Sudah selesai?” tiba-tiba ada yang
menepuk pelan bahuku.
Aku terkesiap dan baru menyadari
ibuku sudah ada di sebelahku. Dia sudah tampak agak segar setelah solat.
Wajahnya sedikit cerah.
“Tiap pagi kayak gini ma? tidak
capek?”
“Hmmmm..” gumamnya yang seperti
enggan menjawab pertanyaanku.
“Kalau tidak seperti ini, kami
enggak makan,” ketusnya agak beberapa lama.
Aku jadi ingat percakapanku beberapa
bulan lalu via telepon dengan mama. Waktu itu selang beberapa bulan menjelang
keberangkatanku kesini.
Suara mama saat itu sedikit sengau.
Berat sekali suaranya. Sesekali terdengar suara batuk di dalam percakapan itu.
Saat itu mungkin kondisi benar-benar
tidak sehat. Aku kurang tanggap dengan suara sengaunya dan terus berbicara
tentang masalahku, masalah keluargaku dan lainnya.
Aku makin tersudut saat itu. Setelah
sakit waktu itu, ibuku jarang meneleponku. Aku juga sering ketus saat dia
meneleponku.
“Kenapa Ma? lagi liputan nih, entar aja lah neleponnya,”
“Kenapa Ma? lagi liputan nih, entar aja lah neleponnya,”
Hari minggu pun aku jarang
mengangkat teleponnya. Aku terlalu lelah hingga memilih tidur seharian atau
sekedar bercanda dengan suamiku.
Aku makin tersudut. Hingga menjelang
matahari terbit dan waktu menunjukkan pukul 06.30, tak ada percakapan serius di
antara kami berdua.
Adik laki-lakiku yang dari tadi
tergolek di depan televisi, masih belum bangun. Adik perempuanku buru-buru
masuk kamar mandi, takut terlambat sepertinya.
Dari kamar yang lain, terdengar
suara bayi. Bunyinya agak keras, sepertinya dia menangis kelaparan.
Seorang wanita masih agak muda, agak
jauh umurnya dari diriku. Dia masih terhuyung, menguap sesekali. Kusut masai
sekali tampangnya. Dia keluar sambil membawa bayinya.
Tidak ada sapaan halus keluar dari
mulutnya ketika berpapasan dengan ibuku. Dingin begitu pendapatku melihat
kejadian itu.
Dulu tidak seperti ini. Rutinitas
membuat kue memang menjadi keharusan. Tapi waktu itu ibuku tampak antusias
melakukannya. Kami masih sering bergurau ketika membuat kue. Dia sesekali
mengeluh halus ketika isi penggorengannya habis aku makan. Suasana saat itu
masih hangat.
Seharusnya bertambah penghuni baru
menambah kehangatan di dalam rumah ini, mengapa sekarang menjadi sebaliknya?
Ibuku berangkat kerja. Dibawanya
tiga kantong yang berisi kue. Mungkin akan diantarkan ke tempat penitipan kue
sembari pergi bekerja. Dia tidak berpesan banyak kepadaku. Hanya berpamitan
sekilas.
“Mama pergi Ta,”.
Deru motor melaju agak kencang tanda
ibuku pergi berangkat kerja.
Baru pukul 07.00 hari itu, namun aku
sudah seperti menghadapi satu hari penuh. Lelah menyapu tubuhku yang agak berat
pagi itu. Namun aku terus berpikir, apa yang bisa aku lakukan untuk ibuku untuk
menghadapi bebannya.
Aku baru berhenti bekerja beberapa
bulan lalu. Sebuah insiden kecil membuatku trauma menggunakan transportasi di
kota metropolitan itu. Apalagi kandunganku makin lama makin membesar. Aku
sungguh mengkhawatirkan janinku lebih dari apapun kala itu sehingga aku
memutuskan berhenti bekerja.
Persis seperti kata suamiku, tak
banyak yang aku lakukan setelah berhenti bekerja. Aku hanya tidur-tiduran saja
di rumah. Berbenah rumah pun aku malas-malasan. Nonton televisi, main game,
makan cemilan dan pekerjaan membuang waktu lainnya yang aku lakukan.
Aku makin tersudut lagi ketika adik
perempuanku malam itu berbicara serius denganku. Dia lulus dengan nilai
memuaskan di sebuah universitas ternama di Jakarta. Dia berhasil masuk ke
jurusan yang benar-benar dia inginkan.
“Tapi mama bilang tidak ada duit untuk
ke Jakarta, Ni. Tapi aku benar-benar ingin kuliah di sana Ni,” cerocosnya
panjang tanpa memberiku kesempatan berbicara.
Tak banyak kata yang ku keluarkan
untuk mengomentari curhatannya. Aku kembali mengelus perutku, kurang dari satu
bulan lagi, makhluk mungil yang dinanti-nantikan akan segera hadir. Tentunya
banyak biaya yang dibutuhkann untuk membiayai kelahirannya.
Aku lihat nominal di akun CIMB Niaga
milikku, jumlahnya, 25 juta rupiah. Uang itu aku kumpulkan ketika aku bekerja
selama tiga tahun sebagai seorang wartawan. Aku tidak tahu persis biaya
persalinan di kota kecil ini, namun sebelumnya ibuku pernah berkata, biayanya
tidak begitu mahal.
Lalu aku menelepon suamiku bertanya
tentang langkah terbaik. Malamnya aku mengambil wudhu, bermunajat kepada Allah
meminta jalan terbaik.
Paginya, ketika pagi mulai
menyingsing dan ibuku kembali bergelut dengan kesibukannya. Perlahan aku pegang
tangannya.
“Maafin Tata, Ma. Mungkin selama ini
Tata tidak paham penderitaan Mama dan cenderung egois,
mementingkan diri sendiri,”
Wajah wanita tua itu masih sedikit kebingungan. Tapi sudah pasti dua detik berikutnya air mata akan bercucuran dari mata hitam itu.
mementingkan diri sendiri,”
Wajah wanita tua itu masih sedikit kebingungan. Tapi sudah pasti dua detik berikutnya air mata akan bercucuran dari mata hitam itu.
Dia memegang tanganku erat, tidak
banyak yang dia katakan. Pelukan hangat itu saja yang mendarat di tubuhku.
Sudah lama tidak aku rasakan pelukan hangat ini.
Cecugukkan aku di pelukannya. Sayup
terdengar suara nan lembut.
“Sudah, sudah. Yang penting kamu
sehat terus Nak,”
Pagi itu, mungkin terasa seperti
pagi-pagi lainnya pagi sebagian besar orang. Namun pagi itu aku kembali
merasakan kehangatan seperti sepuluh tahun lalu aku meninggalkan rumah.
Ku rangkul adik perempuanku yang
sedari tadi terpaku melihat adegan kami. “Tenang Mi, biaya kuliahnya Uni yang
tanggung yah,”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar