Sabtu, 30 April 2016

CERPEN KADO UNTUK MAMA

Karya : Gita Rossiana
Selimutku sedikit terbuka pagi itu, perlahan udara dingin nan menusuk menyentuh pori-pori kulit kakiku. Jelas, aku memilih tidur lagi pagi itu. Jam dinding pun samar-samar ku lihat masih pukul 03.00.
Namun dari luar sana, sesekali ku dengar bunyi pintu berdecit, bunyinya tak segan, seperti menganggap itu rumah sendiri. Bukan maling pasti. Aku dengarkan seksama kelanjutan bunyi yang akan terdengar.
“Plak, plak, plak,” seperti bunyi orang ditampar, tetapi bukan pipi yang jadi landasannya. Ada bunyi plastik yang bergesekan dengan lantai.
Bunyinya tambah kencang, sepertinya agak lama untuk menaklukkan benda yang agak lembek ini agar bisa padat dan berisi.
Tak berapa lama, bunyi pertarungan antara tiga benda, yaitu plastik, benda lembek yang tak ku tahu pasti dari bunyinya dan lantai selesai. Berganti dengan bunyi kompor yang dihidupkan. Pastinya setelah itu akan ada bunyi minyak dan penggorengan.
Aku penasaran dengan apa yang dilakukan orang ini. Di kamarku penghuninya lengkap, ada adikku yang masih tak sadar dengan dunia sekitar terus larut dalam tidurnya. Aku mengintip ke kamar sebelah, tampak selimut yang masih terhampar, bantal dan gulingnya masih belum menyatu rapi, penghuninya pun tak ada.
Dengan menguap hebat aku berjalan perlahan ke arah dapur. Awalnya ingin menuju ke kamar mandi, mengeluarkan air seni yang sudah ditahan tujuh jam sejak jam delapan malam. Tapi di dalam perjalanan menuju kamar mandi itu, tampak ibuku dengan rambut awut-awutan sudah berjibaku dengan bermacam adonan.
“Ngapain ma?” Tanyaku pada sosok yang agak renta itu.
Dia tidak menjawabku dan terus bergerak, berpindah dari ruang tengah ke dapur, bolak-balik tanpa sadar aku ada di hadapannya.
Tak ku teruskan pertanyaanku dan memilih ke kamar mandi karena air seni lebih butuh prioritas untuk dikeluarkan.
“Nanti akan ku bantu,” batinku.
Waktu menunjukkan pukul 04.30, muadzin dari masjid seberang sudah bersiap di depan mikrofon mengumandankan adzan subuh. Aku memilih untuk sekalian solat subuh setelah dari kamar mandi.
Ibuku masih belum tergerak dengan suara adzan subuh itu.
“Solat dulu Ma. Biar aku terusin,” kataku kepada wanita yang masih sedikit panik pagi itu.
“Eh kamu, udah bangun? Ya sudah teruskan goreng donat itu,” pintanya.
Alasanku mengajaknya berbicara sebenarnya bukan hanya untuk membantunya. Maklum sejak kuliah, aku sudah tidak tinggal di rumah ini. Aku melanglang buana ke berbagai daerah untuk kuliah, bekerja dan sekedar memuaskan ambisikku.
Aku teruskan menggoreng donat itu. Sambil menunggu ibuku menghampiriku lagi.
“Sudah selesai?” tiba-tiba ada yang menepuk pelan bahuku.
Aku terkesiap dan baru menyadari ibuku sudah ada di sebelahku. Dia sudah tampak agak segar setelah solat. Wajahnya sedikit cerah.
“Tiap pagi kayak gini ma? tidak capek?”
“Hmmmm..” gumamnya yang seperti enggan menjawab pertanyaanku.
“Kalau tidak seperti ini, kami enggak makan,” ketusnya agak beberapa lama.
Aku jadi ingat percakapanku beberapa bulan lalu via telepon dengan mama. Waktu itu selang beberapa bulan menjelang keberangkatanku kesini.
Suara mama saat itu sedikit sengau. Berat sekali suaranya. Sesekali terdengar suara batuk di dalam percakapan itu.
Saat itu mungkin kondisi benar-benar tidak sehat. Aku kurang tanggap dengan suara sengaunya dan terus berbicara tentang masalahku, masalah keluargaku dan lainnya.
Aku makin tersudut saat itu. Setelah sakit waktu itu, ibuku jarang meneleponku. Aku juga sering ketus saat dia meneleponku.
“Kenapa Ma? lagi liputan nih, entar aja lah neleponnya,”
Hari minggu pun aku jarang mengangkat teleponnya. Aku terlalu lelah hingga memilih tidur seharian atau sekedar bercanda dengan suamiku.
Aku makin tersudut. Hingga menjelang matahari terbit dan waktu menunjukkan pukul 06.30, tak ada percakapan serius di antara kami berdua.
Adik laki-lakiku yang dari tadi tergolek di depan televisi, masih belum bangun. Adik perempuanku buru-buru masuk kamar mandi, takut terlambat sepertinya.
Dari kamar yang lain, terdengar suara bayi. Bunyinya agak keras, sepertinya dia menangis kelaparan.
Seorang wanita masih agak muda, agak jauh umurnya dari diriku. Dia masih terhuyung, menguap sesekali. Kusut masai sekali tampangnya. Dia keluar sambil membawa bayinya.
Tidak ada sapaan halus keluar dari mulutnya ketika berpapasan dengan ibuku. Dingin begitu pendapatku melihat kejadian itu.
Dulu tidak seperti ini. Rutinitas membuat kue memang menjadi keharusan. Tapi waktu itu ibuku tampak antusias melakukannya. Kami masih sering bergurau ketika membuat kue. Dia sesekali mengeluh halus ketika isi penggorengannya habis aku makan. Suasana saat itu masih hangat.
Seharusnya bertambah penghuni baru menambah kehangatan di dalam rumah ini, mengapa sekarang menjadi sebaliknya?
Ibuku berangkat kerja. Dibawanya tiga kantong yang berisi kue. Mungkin akan diantarkan ke tempat penitipan kue sembari pergi bekerja. Dia tidak berpesan banyak kepadaku. Hanya berpamitan sekilas.
“Mama pergi Ta,”.
Deru motor melaju agak kencang tanda ibuku pergi berangkat kerja.
Baru pukul 07.00 hari itu, namun aku sudah seperti menghadapi satu hari penuh. Lelah menyapu tubuhku yang agak berat pagi itu. Namun aku terus berpikir, apa yang bisa aku lakukan untuk ibuku untuk menghadapi bebannya.
Aku baru berhenti bekerja beberapa bulan lalu. Sebuah insiden kecil membuatku trauma menggunakan transportasi di kota metropolitan itu. Apalagi kandunganku makin lama makin membesar. Aku sungguh mengkhawatirkan janinku lebih dari apapun kala itu sehingga aku memutuskan berhenti bekerja.
Persis seperti kata suamiku, tak banyak yang aku lakukan setelah berhenti bekerja. Aku hanya tidur-tiduran saja di rumah. Berbenah rumah pun aku malas-malasan. Nonton televisi, main game, makan cemilan dan pekerjaan membuang waktu lainnya yang aku lakukan.
Aku makin tersudut lagi ketika adik perempuanku malam itu berbicara serius denganku. Dia lulus dengan nilai memuaskan di sebuah universitas ternama di Jakarta. Dia berhasil masuk ke jurusan yang benar-benar dia inginkan.
“Tapi mama bilang tidak ada duit untuk ke Jakarta, Ni. Tapi aku benar-benar ingin kuliah di sana Ni,” cerocosnya panjang tanpa memberiku kesempatan berbicara.
Tak banyak kata yang ku keluarkan untuk mengomentari curhatannya. Aku kembali mengelus perutku, kurang dari satu bulan lagi, makhluk mungil yang dinanti-nantikan akan segera hadir. Tentunya banyak biaya yang dibutuhkann untuk membiayai kelahirannya.
Aku lihat nominal di akun CIMB Niaga milikku, jumlahnya, 25 juta rupiah. Uang itu aku kumpulkan ketika aku bekerja selama tiga tahun sebagai seorang wartawan. Aku tidak tahu persis biaya persalinan di kota kecil ini, namun sebelumnya ibuku pernah berkata, biayanya tidak begitu mahal.
Lalu aku menelepon suamiku bertanya tentang langkah terbaik. Malamnya aku mengambil wudhu, bermunajat kepada Allah meminta jalan terbaik.
Paginya, ketika pagi mulai menyingsing dan ibuku kembali bergelut dengan kesibukannya. Perlahan aku pegang tangannya.
“Maafin Tata, Ma. Mungkin selama ini Tata tidak paham penderitaan Mama dan cenderung egois,
mementingkan diri sendiri,”
Wajah wanita tua itu masih sedikit kebingungan. Tapi sudah pasti dua detik berikutnya air mata akan bercucuran dari mata hitam itu.
Dia memegang tanganku erat, tidak banyak yang dia katakan. Pelukan hangat itu saja yang mendarat di tubuhku. Sudah lama tidak aku rasakan pelukan hangat ini.
Cecugukkan aku di pelukannya. Sayup terdengar suara nan lembut.
“Sudah, sudah. Yang penting kamu sehat terus Nak,”
Pagi itu, mungkin terasa seperti pagi-pagi lainnya pagi sebagian besar orang. Namun pagi itu aku kembali merasakan kehangatan seperti sepuluh tahun lalu aku meninggalkan rumah.
Ku rangkul adik perempuanku yang sedari tadi terpaku melihat adegan kami. “Tenang Mi, biaya kuliahnya Uni yang tanggung yah,”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar